Perwujudan Pelayanan Peradilan Inklusif Dari Aspek Akademis, Disabilitas, dan Pemerintah
Bandar Lampung, pta-bandarlampung.go.id – Later belakang Direktur Jenderal Badan Peradilan agama Mahkamah agung menerbitkan surat keputusan Nomor:2078/DjA/HK.00/SK/8/2022 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Ramah Penyandang Disabilitas di Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Agama adalah demi mewujudkan pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas dalam mengakses peradilan. Selain itu, masih maraknya diskriminasi yang dialami oleh penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum mengharuskan adanya regulasi yang mampu menghapuskan diskriminasi.
Kedua hal pokok tersebut disampaikan oleh Guru Besar di bidang Ilmu Manajemen Pendidikan Universitas Islam Negeri Raden Intan Bandar Lampung, Prof. Dr. Hj. Siti Fatimah, S.Ag., M.Pd. pada kegiatan “Bimbingan Teknis Pemberian Layanan Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas” pada Selasa, 24/9/2024. Dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama di Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Bandar Lampung, Prof. Siti Fatimah menyampaikan materi terkait aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap layanan peradilan dan membangun sensitivitas diri dalam upaya peningkatan layanan.
Aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak dalam Proses Peradilan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas didefinisikan sebagai Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Dari definisi tersebut,pedoman pelayanan peradilan diharapkan mampu menghilangkan hambatan bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh dan efektif di bidang hukum, serta mendapatkan kesamaan hak dalam mengakses layanan peradilan.
Partisipasi yang dilakukan oleh penyandang disabilitas seringkali hanya bersifat pasif dan semu. Dengan kata lain, disabilitas hanya mampu mengakses sebagian layanan peradilan dan terkadang mengekang kemandiriannya. Untuk itu, peradilan hendaknya meningkatkan aksesibilitas layanan dan menyediakan akomodasi yang layak bagi ragam disabilitas di peradilan. Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan.
“Kehadiran akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas merupakan perwujudan dari peradilan inklusif. Namun, harap digaris bawahi bahwa penyediaan akomodasi yang layak harus memperhatikan ragam disabilitas. Sebab, setiap jenis disabilitas memiliki kebutuhan yang berbeda,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan bentuk akomodasi yang layak berupa layanan serta sarana dan prasarana. Pelayanan terdiri dari perlakuan non diskriminasi, pemenuhan rasa aman dan nyaman, terdapat komunikasi efektif yang tersedia dalam berbagai media, serta pemenuhan informasi terkait hak disabilitas dengan ragamnya dan dapat diakses secara penuh.
Di sisi lain, pengadilan agama harus mampu menyediakan komunikasi audio visual jarak jauh yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas yang mengalami kendala dalam bermobilitas dari tempat tinggalnya. Pendamping dan penerjemah bahasa isyarat juga sebaiknya disediakan sebagai penunjang layanan. Standar operasional prosedur layanan bagi disabilitas juga harus tersedia untuk memastikan petugas layanan memberikan layanan yang sesuai standar.
Sarana dan prasarana merupakan faktor kedua yang harus diperhatikan oleh pengadilan agama. Penyediaan sarana dan prasarana harus memperhatikan ragam disabilitas karena kebutuhan yang berbeda. Semisal, penyediaan bidang miring bagi pengguna kursi roda, pedoman layanan Braille bagi disabilitas netra, papan informasi visual bagi disabilitas pendengaran, dan halaman web yang aksesibel bagi semua ragam disabilitas.
“Petugas layanan diharapkan memiliki sensitivitas diri yang tinggi ketika melayani penyandang disabilitas. Sensitivitas diri diartikan sebagai kemampuan diri untuk memahami perasaan orang lain. Sensitivitas diri penting dalam layanan karena meningkatkan kepuasan pengguna layanan, membangun hubungan yang baik, menjaga kredibilitas instansi, mengurangi konflik dengan kemampuan memberikan pelayanan dengan empati,” tutupnya.
Metode Layanan Terbaik bagi Disabilitas Netra
Sementara itu, pelaksana PTA Bandar Lampung, Rifka Aprilia, S.E., M.M. mengajak peserta untuk mengenal lebih dekat dengan disabilitas netra. Ia yang seorang disabilitas netra sejak 2018 menyajikan mitos dan fakta yang beredar di tengah masyarakat terkait disabilitas netra. Tujuannya agar peserta mampu memahami perspektif disabilitas netra sehingga dapat memberikan model layanan yang terbaik.
Ia membuka materi dengan menjelaskan kategori disabilitas netra yaitu totally blind dan low vision. Di mana totally blind digolongkan bagi orang yang sama sekali tak mampu melihat atau hanya mampu melihat persepsi cahaya. Sementara low vision merupakan orang yang hanya mampu melihat dari jarak tertentu atau membaca dengan ukuran huruf yang lebih besar dari umumnya. Perbedaan kategori ini akan berdampak pada perbedaan metode layanan yang diperlukan.
“Disabilitas netra memanfaatkan pendengaran dan sentuhan untuk memperoleh informasi dari lingkungan sekitar, sehingga Bapak dan Ibu peserta harus mampu memberikan deskripsi yang jelas. Semisal gunakan arah jarum jam alih-alih menggunakan kata “ di sini” atau “di sana” ketika menunjukkan arah sebuah objek,” tuturnya.
Selain itu, petugas layanan sebaiknya terlebih dahulu menyentuhkan benda yang akan diberikan ke tangan disabilitas netra. Semisal, ketika disabilitas netra diharuskan menandatangani sebuah dokumen, petugas layanan dapat menyentuhkan pena ke tangan disabilitas netra serta mengarahkan tangannya ke bagian dokumen yang akan ditandatangani. Pastikan dokumen cetak yang akan ditandatangani harus dibacakan oleh petugas layanan hingga disabilitas netra memahami isi dokumen tersebut.
Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa Pengadilan agama harus menyediakan ragam jenis layanan bagi disabilitas netra, seperti brosur layanan dengan huruf Braille, dokumen cetak dengan huruf besar, atau dokumen digital yang aksesibel dengan pembaca layar. Dengan begitu, disabilitas netra dapat memperoleh layanan sesuai dengan media yang mereka butuhkan.
Halaman web pengadilan agama juga harus dirancang dengan baik sehingga mampu diakses secara optimal oleh penyandang disabilitas. Perancangan halaman web ini berpedoman pada web content accessibility guideline (WCAG) yang diakui secara internasional. Dengan pedoman ini, halaman web dapat diakses oleh pembaca layar sehingga disabilitas netra dapat memperoleh informasi peradilan secara digital.
“Hal paling utama adalah bahwa Bapak dan Ibu harus memandang disabilitas dengan human rights model atau pendekatan hak asaasi manusia. Pendekatan ini memandang disabilitas sebagai manusia yang memiliki kesamaan hak di seluruh aspek kehidupan. Dengan begitu, disabilitas dapat dilayani dengan prinsip kesetaraan tanpa diskriminasi,” pungkasnya.
Peran Dinas Sosial Dalam Memberdayakan Disabilitas
Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial Provinsi Lampung, Yulya Elva, A.KS. menjadi narasumber selanjutnya yang menyampaikan terkait peran dinas sosial dalam memberdayakan disabilitas. Ia memaparkan bahwa tugas dinas sosial adalah pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial ditujukan untuk memfungsikan kembali dari kondisi kedisabilitasan dan mengoptimalkan potensi yang ada di diri penyandang disabilitas.
“Provinsi Lampung telah menyediakan sekretariat penyandang disabilitas berbentuk UPTD untuk memfasilitasi berbagai ragam disabilitas dalam memperoleh layanan. Fasilitas yang disediakan antara lain sekolah bina insani untuk pendampingan disabilitas. Selain itu terdapat pula panti untuk bimbingan mental, rohani, dan bimbingan lain yang dibutuhkan oleh disabilitas,” bukanya.
Terakhir, peserta diperkenalkan pada bahasa isyarat untuk memudahkan komunikasi dengan disabilitas pendengaran. Materi ini disampaikan olehNovi, pegiat sosial yang fokus pada pemberdayaan disabilitas pendengaran. Dengan mempelajari bahasa isyarat, petugas layanan diharapkan dapat memberi layanan terbaik bagi penyandang disabilitas.
Materi Metode Layanan Terbaik bagi Disabilitas Netra (Klik Disini)